Bambang Prakuso
Ketua Germenbalim (Gerakan Revolusi Mental Berbasis Literasi dan Mindset)
CEO ALFATETA LITERASI INDONESIA
Pemotongan anggaran kementerian oleh Presiden Prabowo, khususnya untuk pos-pos seperti bimbingan teknis (bimtek), perjalanan dinas, dan rapat koordinasi (meeting), tentu menjadi tantangan besar bagi kementerian dan aparatur sipil negara (ASN). Namun, situasi ini juga bisa menjadi momentum untuk menciptakan inovasi dan efisiensi dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintah.
Salah satu akar masalah yang sering dihadapi adalah rendahnya budaya literasi dan kreativitas di kalangan ASN, yang berdampak pada ketergantungan terhadap anggaran besar untuk kegiatan-kegiatan yang sebenarnya bisa dilakukan dengan lebih hemat. Indonesia memang masuk negara yang paling tidak kreatif dan tidak produktif di Asia Tenggara. Ini akibat rendahnya minat baca dan budaya literasi, yang sampai sekarang pemerintah belum punya solusi mengatasinya kecuali sebatas seremonial dan aktivitas yang dari dulu sampai sekarang itu itu saja.
Rendahnya minat baca dan budaya literasi di Indonesia, termasuk di kalangan ASN, telah menjadi penyebab utama kurangnya kreativitas dan produktivitas manusia Indonesia. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah perlu mewajibkan program membaca buku bagi seluruh ASN. Setiap ASN harus membaca minimal 12 buku dalam setahun dan mendiskusikannya dalam kelompok kecil. Jika membaca menjadi bagian dari pekerjaan para ASN, maka kami pastikan minat baca ASN bisa kita tingkatkan menjadi 1000%. Hitungannya begini. Akan survei dari bps bahwa bangsa kita tidak membaca satu buku pun dalam satu tahun. Ini artinya kalau kita genapkan bangsa kita membaca 1 buku saja dalam setahun, 100% Cuma 2 buku, Ini masih kalau jauh dengan Thailand yang membaca 5 buku setahun. Padahal dulu Thailand adalah negara no. 59 dari 61 negara paling malas baca di dunia. Sekarang mereka jauh meninggalkan kita. Jadi target kita harus 1000%, atau sama dengan 10-12 buku per tahun.
Wajib baca ini juga harus dilakukan oleh semua sekolah ikatan dinas yang diselenggarakan oleh pemerintah, mereka yang ingin naik jabatan, promosi, dll. Mengapa mereka, karena pemerintah memiliki hak untuk itu, tidak pada swasta. Swasta akan ikut dengan sendirinya.
Dengan cara ini, dalam setahun, satu kelompok kecil ASN bisa membaca 1 bulan 10 buku, atau 20 buku setahun termasuk membahasnya. Ini akan meningkatkan wawasan, kreativitas, dan kemampuan problem-solving tanpa memerlukan anggaran besar.
SSRA (Super Speed reading Alfateta), yakni strategi meningkatkan minat dan kecepatan membaca sampai 1000%. SSRA bukan hanya mampu membaca cepat, tapi juga benar, efektif, dan efisien. Selain itu peserta juga mampu mengingat, memahami dan empresentasikannya teknik meningkatkan minat baca sampai dengan seribu persen termasuk mengingat.Untuk mendukung program literasi ini, ASN perlu dibekali dengan teknik membaca cepat seperti Super Speed Reading Alfateta (SSRA). Teknik ini memungkinkan seseorang membaca buku tebal (100-200 halaman) dalam waktu satu jam, sekaligus meningkatkan pemahaman dan daya ingat.
Dengan menguasai teknik ini, ASN tidak hanya bisa membaca lebih banyak, tetapi juga mampu mengimplementasikan pengetahuan dari buku-buku tersebut dalam tugas sehari-hari.
Rapat koordinasi, meeting, dan perjalanan dinas seringkali menghabiskan anggaran besar, terutama karena dilakukan di hotel-hotel mewah dengan fasilitas yang mahal. Padahal, banyak dari kegiatan ini tidak efisien dan tidak menghasilkan output yang signifikan.
Dengan mengganti kegiatan yang boros anggaran dengan diskusi buku, pemerintah bisa menghemat hingga 80% dari anggaran yang biasanya dialokasikan untuk rapat dan meeting.
Untuk memotivasi ASN dan meningkatkan budaya literasi, pemerintah bisa mengadakan kompetisi membaca cepat di tingkat kementerian, provinsi, hingga nasional. Kompetisi ini bisa menjadi ajang untuk meningkatkan keterampilan membaca cepat sekaligus menciptakan semangat kompetisi yang sehat.
Kompetisi ini tidak hanya meningkatkan minat baca, tetapi juga memposisikan Indonesia sebagai negara yang serius dalam membangun budaya literasi.
Agar program ini berjalan efektif, perlu ada mekanisme evaluasi dan monitoring yang ketat. Jaringan Alfateta di seluruh Indonesia bisa membantu dalam melakukan bimbingan, monitoring, dan pelaporan.
Pemotongan anggaran seharusnya tidak dilihat sebagai hambatan, tetapi sebagai kesempatan untuk melakukan efisiensi dan inovasi. Selama ini, banyak kegiatan pemerintah yang dilakukan dengan biaya besar tetapi tidak efektif, seperti rapat di hotel mewah yang dihadiri oleh peserta yang tidak serius.
Dengan menerapkan program literasi dan mengganti kegiatan yang boros dengan diskusi buku, pemerintah bisa menghemat anggaran sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Kesimpulan
Pemotongan anggaran untuk pos bimtek, perjalanan dinas, dan meeting seharusnya menjadi momentum untuk menciptakan ASN yang lebih kreatif, produktif, dan mandiri. Dengan mewajibkan budaya literasi, menerapkan teknik membaca cepat, dan mengganti kegiatan yang boros dengan diskusi buku, pemerintah bisa menghemat anggaran tanpa mengorbankan kualitas kerja. Program ini tidak hanya akan meningkatkan kinerja ASN, tetapi juga membangun Indonesia sebagai bangsa yang literat, kreatif, dan produktif di kancah internasional.